Setelah membaca artikel yang kebetulan lewat ini, yang menjelaskan betapa ekspektasi benar-benar negatif serta merupakan penyebab utama hidup kadang tidak bahagia dan penuh kekecewaan. Aku tercenung, terpikir, aku harus segera hidup tanpa ekspektasi (Atau menurunkannya sampai sangat rendah).

Sebenarnya soal fakta bahwa ekspektasi itu bukan sesuatu yang sehat sudah aku ketahui sejak lama tetapi aku masih punya pandangan lain. Pandangan bahwa ekspektasi itu seperti mimpi, harapan, dan cita-cita. Baru sekaranglah aku agaknya tersadar, bahwa pandangan itu harus aku ganti. Ekspektasi ternyata bukanlah hal-hal indah nan motivasional seperti itu, ekspektasi dipenuhi khayalan dan delusi. Walaupun mimpi, harapan dan cita-cita masih bisa mengandung hal seperti itu tetapi tampaknya masih bisa diatur tanpa ekspektasi.

Sekarang tinggal bagaimana menjalaninya. Jujur saja aku sempat terpikir, bagaimana bisa tidak ekspektasi sama sekali ketika hidup? Hingga aku membaca lebih dalam dan sadar bahwa ekspektasi itu berbeda dengan tujuan hidup.

Alasan aku sangat ingin menjalani hidup seperti ini karena setelah aku pikirkan dengan masak, masalahku akhir-akhir ini: masalah mental, kepercayaan diri rendah, mood tidak stabil, serta depresi disebabkan oleh ekspektasi yang tak sampai. Ekspektasi internal, dan ekspektasi eksternal yang penuh dengan delusi dan asumsi yang hanya muncul dari satu sudut pandang saja, dari diriku sendiri.

Bicara lebih jauh soal ekspektasi eksternal, ekspektasi ini berasal ekspektasi orang lain terhadapku yang sebenarnya asumsi dari diriku sendiri. Hanya sebuah asumsi karena aku tak ‘kan pernah tahu orang lain sebenarnya benar-benar berekpsektasi padaku atau tidak. Memang ada sih rasa takut mengecewakan orang lain, orang terdekat seperti orang tua atau sahabat misalnya dan sumber masalah besarku sih sepertinya dari sini. Takut mengecewakan orang tua.

Seorang teman pernah bilang, “You’re too nice, you can’t please everyone” yang sebenarnya bukan komentar soal ekspektasi dari orang terdekat tetapi karena sikapku yang tidak suka membuat orang lain secara umum kecewa. Bukankah itu tidak nyaman melihat sebuah kekecewaan? Sehingga akhirnya sekarang ini aku benar-benar fokus pada diriku sendiri.

Egoiskah aku? Aku lebih suka menyebutnya individualis. Bukan berarti tidak mau mendengar keinginan orang lain, andaikan ada orang yang datang padaku dan meminta, aku mungkin akan membantu bila mampu dengan catatan besar, aku tidak boleh berekspektasi. Ekspektasi orang lain biarlah jadi ekspektasi orang lain, aku melakukan apa yang aku mampu.


Setelah aku baca-baca lagi tulisan yang berhenti tanpa kesimpulan general di atas seperti omong kosong belaka ya haha, karena sejujurnya ini masih rencana, tetapi harus direalisasikan. Tinggal bagaimana aku sering-sering reality check nanti. Wish me luck.